Kamis, 17 Januari 2008

SILUET : Sintikhe Evi Julianti

src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjaDgq7GMoh21uT3tnCk4rfL4UJWp1_B-1DST0ypA-aPVluruKDZ1JFND9rEtBeWzq44KCEwVB9uSc-jFD03gNIDnqA8ew7LZJ04kisn_Nr6lyQUOw_40t-y6OlCLRtGdmFO_CEXVNu12s/s320/Sintikhe+Evi+Julianti.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5156533872301976930" border="4" />
Sulit Jual Produk Ke Supermarket

Berawal dari keinginannya untuk bisa menjual beras khas dari Indonesia beraroma wangi. Sintikhe Evi Julianti pun harus terjun sendiri ke beberapa petani penghasil beras beraroma wangi.

Pilihanya pada beras pandanwangi karena keunggulan diantaranya, setelah dimasak nasi yang dihasilkan lebih pulen, aroma wangi, putih, citarasanya enak baik dalam kondisi hangat maupun dingin. “Saya rasa cocok sekali beras pandanwangi ini,” kata Direktur Utama PT Quasindo Sintikhe Evi Julianti yakin.

Apalagi dengan banyaknya permintaan dari temannya yang ada di Malaysia, Thailand, dan Singapura yang ingin beras wangi. Bahkan beberapa temannya kecewa karena kebanyakan beras yang didapat tidak semuanya wangi, tapi ada yang dicampur dan ada yang diberi esense.

Tidak beda dengan beras pandanwangi yang dijual di Indonesia. “Di pasar ada yang jual pandanwangi tapi tidak 100% pandanwangi. Campuran dengan beras lain tapi dikatakan pandanwangi,” ungkap wanita yang akrab di panggil Evi ini.

Melihat hal ini, Evi bersama krunya menjalin kerjasama dengan petani untuk membudidayakan padi pandanwangi. Ternyata merintis dan membangun kerjasama ini sangat berat. Apalagi saat itu, kondisi petani enggan menanam pandanwangi karena tidak ada jaminan harga.

Akhirnya Evi memutuskan untuk membeli semua hasil panen petani. “Saya pun lakukan kontrak harga pembelian gabah yang masih dimalai sesuai kesepakatan,” kata penyuka traveling ini.

Ternyata apa yang dilakukan Evi memberikan semangat bagi petani untuk menanam kembali varietas pandanwangi. Dengan harga kontrak, petani merasa tenang karena sudah ada jaminan pasar dan harga sudah pasti. “Selama ini petani menanam padi karena musim tanam. Saat panen tidak tahu dijual ke mana, sehingga harganya pun tidak menentu,” kata wanita yang hobi berenang ini.

Ragu Dengan Petani

Meskipun sudah ada kontrak dan perjanjian dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Evi Julianti saat ini masih merasa ragu. “Karena saya tidak melihat latar belakang petani. Apakah kontrak dengan mereka nantinya sesuai dengan perjanjian,” jelas Evi Julianti.

Saat, Sarjana Ekonomi lulusan Ubaya ini turun dan melihat sendiri petani begitu antusias dalam bekerja, mulailah dirinya percaya. “Saya sadar betapa susah petani, selama ini hasil kerjanay tidak sepadan dengan yang diterima, belum lagi ulah para tengkulaknya” kata penyuka pantai dan gunung ini prihatin.

Evi benar-benar melihat kesungguhan petani. Keinginannya pun semakin besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui kerjasama ini. “Niat ini pasti akan diberi jalan oleh Yang Kuasa,” tandas.

Kendala Menjual Produk Petani Ke Supermarket

Kerjasama yang dijalin tidak sekadar produksi beras, Evi juga melibatkan petani dalam membuat kemasan dan merk dagang beras pandanwangi ini. Harapannya produk tersebut bisa dijual ke supermarket-supermarket besar. “Saya menjamin, tidak saja setara dengan beras import tapi jauh di atas beras import,” kata wanita kelahiran 11 September 1973 ini berpromosi.

Namun banyak orang yang mentertawakan apa yang telah dilakoni Evi ini. Apalagi saat mendengar harga beras pandawangi yang dijualnya begitu tinggi. “Wajar saja, mereka mentertawakan dan heran, sebab selama ini banyak dari konsumen yang tertipu dengan beras pandanwangi, yang ternyata bukan pandanwangi. Tapi beras campuran,” kata mantan PR & Pastry Cheef Pan Pasific Hotel Kualalumpur ini.

Keinginan memasarkan produk petani mitranya ke supermarket begitu menggebu, namun beberapa supermarket yang menerapkan listing fee terlalu tinggi membuatnya enggan untuk membawanya ke supermarket besar.

listing fee antara Rp. 5 juta - Rp. 7,5 juta dianggapnya terlalu tinggi hanya untuk satu macam barang yang masuk ke satu supermarket. “Kita tidak mungkin bebankan ke petani. Tidak fair, uang itu ibaratnya investasi judi, laku tidak laku barang yang sudah masuk uang hangus,” kata jebolan Cullinary Art Legend International UK ini.

Tidak kehabisan akal, Evi pun mengalihkan produknya kebeberapa outlet khusus seperti kemchick, ranch market dan beberapa toko buah yang ada. Ternyata cara ini lebih efektif dan banyak konsumen yang meminta produknya tersebut.

Evi yakin, produk yang dihasilkan para petani benar-benar beras berkualitas.“Saya tidak mau jual, jika tidak berkualitas sebab ingin juga menjual beras berkualitas lainnya seperti rojolele,” jelasnya.

Tri Mardi Rasa